Tiongkok - Nusantara Relations and the Early Wave of Islamization: Admiral Zheng He's Role in the Formation of Islamic Character in Java
Ilmiah

Tiongkok - Nusantara Relations and the Early Wave of Islamization: Admiral Zheng He's Role in the Formation of Islamic Character in Java

Oleh: Ahmad Suaedy, Founder ienhub.com...

26 July 2025
Pendahuluan
Ada kemiripan antara proses islamisasi di Nusantara atau Indonesia dengan di Tiongkok. Pengenalan Islam secara sporadis terjadi sejak sangat awal Islam di abad ke-7 M. baik di Nusantara maupun di Tiongkok tetapi kemudian terjadi gelombang islamisasi yang massif tujuh abad kemudian yaitu di abad ke ke-14 - ke-16 di Nusantara, setelah sebelumnya gelombang islamisasi, meskipun tidak semasif di Nusantara, lebih dulu terjadi di Tiongkok di abad ke-12 - ke-14 (Broomhall, 2010).

Para era Kerajaan Majapahit di Jawa Nusantara (1293 – 1527 M) yang berbasis agama Hindu-Buddha, pemeluk Islam masih sangat minim namun mereka hidup cukup leluasa. Di Ibukota Majapahit, Trowulan kini Mojokerto, Jawa Timur, misalnya, ditemukan makam-makam Islam yang sangat tua yang diperkirakan hidup sejak sebelum kejayaan Majapahit di abad ke-14 sehingga para sejarawan memperkirakan di era kejayaan Majapahit sudah hidup komunitas Muslim di Ibukota kerajaan tersebut (Ricklef, 2008). Demikian juga di Tiongkok, menurut Sarah Aly (2013), sejak Dinasti Yuan (1271-1368 M.) Islam diberi ruang untuk hidup lebih leluasa di dalam masyarakat. Dinasti Yuan menerapkan kebijakan asimilasi bagi semua minoritas termasuk Muslim sehingga komunitas Muslim bahkan telah menampakkan identitasnya sebagai komunitas yang terasimilasi ke dalam masyarakat Tiongkok ketika itu (Sen, 2009: 76-93).

Persentuhan Islam di China diumulai dari abad ke-7 M. melalui para pedagang Ara b dan persia (merchants) dan perkembangan berikutnya melalui para profesional ketika Baghdad ditundukkan oleh Khubalai Khan sehingga para pejabat Kesultanan dan para profesional membanjiri China. Orang pertama yang direkrut oleh seorang finance. Dinastio Yiuan bahkan mendirian Kehakiman islam (Department of Qodi sebeklum akhirnhya ditutup oleh pada 1311 oleh Imperium Renzhong (Sen, 2009, p. 93).

Sejak itu, menurut Aly, komunitas Muslim tampil sebagai China Muslim, sebagai bagian dari penduduk negeri Tiongkok yang leluasa ketimbang sebelumnya. Menurut catatan sejarah di Nusantara, pada masa Dinasti Yuan itu hubungan antara Tiongkok dan Nusantara mulai tampak memuat unsur Islam di dalamnya. Disusul kemudian pada Dinasti Ming (1368 - 1644 M.) hubungan Tiongkok - Nusantara, diwarnai dengan gelombang islamisasi terutama berkaitan dengan perjalanan Cheng Ho (1371 - 1435 M.) ke Nusantara atau Asia Tenggara. Pada era Dinasti Ming, Islam telah direcognize secara hampir tuntas. Cheng Ho atau Zheng He yang memang beragama Islam sejak nenek moyangnya yang konon berdarah Arab dan juga sudah menjadi tentara, diangkat menjadi Admiral atau angkatan laut bintang empat (Yuanzhi, 2008).

Paper ini akan mencoba menelusuri bagaimana proses hubungan antara masyarakat di Nusantara dan di Tiongkok dan kandungan Islam di dalamnya di masa itu serta pengaruh kekhasan islamisasi atau asimilasi oleh Cheng Ho di Jawa Nusantara.


> Perdagangan dan Diplomasi

Nusantara adalah wilayah yang kini disebut dengan Archipelago Southeast Asia. Southeast Asia terbagi menjadi dua, setengahnya di sisi utara terdiri dari mainland atau Asia Tenggara daratan dan di sebelah selatan adalah wilayah kepulauan (archipelago). Sementara bagian utara mayoritas beragama Budha kecuali Filipina dengan mayoritas Katolik. Di bagian selatan atau archipelago terdiri dari beberapa negara dengan beberapa di antaranya mayoritas Muslim, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, Filipina bagian selatan atau Mindanao, serta Patani atau Thailand bagian selatan. Sedangkan Singapura mayoritas beragama Tao dan Timor Leste mayoritas Katolik.

Negara terbesar dari wilayah archipelago kini adalah negara Indonesia. Jawa adalah salah satu pulau paling ujung selatan dari archipelago dan terkenal karena budayanya yang tinggi sejak sangat lama dengan penduduknya yang padat dan menjadi lumbung beras atau pangan pada umumnya. Di Nusantara sejak abad ke-13 telah muncul kesultanan Islam di berbagai daerah mulai dari Aceh hingga pulau-pulau utama di Nusantara yang kini menjadi Indonesia. Gelombang islamisasi di nusantara terjadi melalui perdagangan, perjalanan para guru spiritual atau para sufi dan kawin mawin.

Dalam perdagangan internasional, Nusantara sejak lama menjadi sumber komoditi internasional terutama yang paling awal adalah kapur barus atau kamper yang kini ada di pulau Sumatera Utara. Daerah penghasil kapur barus ini kemudian disebut daerah atau kota Barus. Disebutkan bahwa pedagang Muslim sudah hadir di Barus sejak abad ke-7 M. Maka kota Barus oleh pemerintah Indonesia telah dinobatkan sebagai titik nol Islam, kota paling awal dikunjungi pedagang Muslim. Komoditi internasional lainnya yang menonjol selain kamper adalah rempah dan emas hingga terbentuk jalur perdagangan internasional yang terkenal dengan “jalur rempah.” Jalur perdagangan melalui laut atau maritim di samping jalur sutra darat yang berpusat di Tiongkok.

Laut bagi orang Nusantara waktu itu, bukan hanya jalur perdagangan baik antar pulau di Nusantara sendiri maupun perdagangan internasional, khususnya para pedagang dari Arab, India dan Tiongkok sebelum Barat mulai mengenal wilayah ini sebagai pusat rempah abad ke-15, melainkan, menurut Lombard (2005), adalah tempat kebudayaan bertumbuh. Dengan kata lain, terbangbunnya kebudayaan di Nusantara bukan hanya melalui darat melainkan terutama melalui laut, pesisir dan sungai. Mahmood Kooria (2021) menunjukkan bagaimana melalui laut sosialisasi dan internalisasi ajaran Islam masuk menjadi etika dan tradisi keagamaan masyarakat luas di Nusantara dan India Oceania

Sebelum era Majapahit pun pulau Jawa sudah cukup terkenal terutama di era Kerajaan Singosari ketika di bawah Raja Kertanegara, menolak tunduk dan bahkan melukai utusan Kubilai Khan dari Kerajaan Mongol pada 1289, Meng Qin, sebelum mengusir dan menolak untuk tunduk. Tahun berikutnya 1293 M. Kubilai Khan mengirim pasukan 20.000-30.000 prajurit untuk menghukum Raja Kertanegara namun berhasil dihalau dan Kertanegara tidak pernah tunduk (Harlijanto, 2012). Sehingga Marco Polo, seorang penjelajah Barat yang pernah singgah di pulau Sumatera 1292 namun tidak sempat mendarat ke pulau Jawa menganggap bahwa pulau Jawa sebagai pulau yang besar dan penduduknya padat serta maju. Padahal secara ukuran pulau Jawa jauh lebih kecil daripada pulau Sumatera.

Melalui laut, pantai dan sungai serta sarana pertemuan dagang itulah Islam menyebar di Nusantara pada abad ke-15 hingga ke-17 dengan sangat cepat. Di abad ke-13 telah lahir suatu kesultanan di Aceh yaitu Kesultanan Samudera Pasai yang didirikan oleh Sultan Malikussaleh pada 1267 M. Sebelumnya, menurut Pires (2014) Islam sudah menjadi komunitas di pesisir atau pantai dan di laut serta sudah bercampur dengan para pedagang India, Arab dan China. Mereka menjadi komunitas-komunitas berbaur. Bahkan seringkali komunitas-komunitas itu dipimpin oleh pendatang baik Arab, India maupun China. Dan pemimpin yang paling dihargai adalah mereka yang paling terampil dalam perlayar dan menguasai laut seperti syahbandar (Pire, 2015).

Dimulai dari Pasai itu kemudian menyebar ke arah Malaka, kini bagian dari negara Malaysia, yang karena letaknya yang strategis Malaka kemudian menjadi pusat atau hub perdagangan internasional. Selat Malaka dimana kesultanan itu lahir terletak di jalur perdagangan paling strategis yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, serta menghubungkan berbagai wilayah seperti Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Dari sinilah perdagangan internasional yang membawa Islam terus berkembang ke arah selatan dan timur. Ke selatan ke arah pulau Jawa terutama pertama-tama pantai Gresik di Jawa Timur kemudian Jawa Tengah dan Banten di ujung barat pulau Jawa.

Penyebaran Islam secara cepat melalui laut juga berkembang ke arah timur, pulau Kalimantan yang sangat luas, Sulawesi, Maluku hingga ke Papua terutama Papua bagian Barat. Di pulau Jawa, setelah terbentuknya komunitas-komunitas Islam yang plural terutama di pantai-pantai atau pesisir kemudian terbangun kesultanan dimulai dari Gresik di akhir abad ke-14 dan kemudian ke Demak dan Cirebon di Jawa Tengah di awal abad ke-15 dan seterusnya. Hampir semua kesultanan Islam sebelum abad ke-17 berada di pesisir di pulau-pulau yang ada (Sulistiyanto, 2012).

Pada saat itu, berbagai komoditi dari hampir semua arah sekitar Nusantara harus melewati hub pedagangan internasional di Malaka ini. Kesultanan Malaka kemudian menjadi pusat atau hub besar perdagangan dunia sebelum kemudian direbut oleh Portugis. Ketika Portugis menyerang Malaka pada 1511 M. datang solidaritas dan bantuan dari kesultanan-kesultanan Islam di pulau-pulau lain. Pati Unus (1488–1521), sultan kedua Demak di Jawa, mengirim bala bantuan tentara dan kapal cukup signifikan beberapa kali ke Malaka untuk melawan Portugis meskipun Malaka tetap berhasil direbut oleh Portugis.

Maluku di Indonesia bagian timur sekarang, yang pernah terkenal sebagai pulau rempah (spice islands) menjadi salah satu pusat perkembangan Islam. Puncak dari perdagangan internasional dimana Maluku menjadi pusat terjadi bersamaan dengan berkembangnya Islam secara massif dari abad ke-15 hingga ke-17. Maluku memproduksi berbagai jenis rempah mulai dari pala, bunga pala, dan cengkeh yang hanya tumbuh di pulau-pulau ini. Para pedagang Muslim dari Arab, India dan China memenuhi perdagangan internasional rempah ini. Ketika Barat mulai datang ke timur di awal ke-17 mulai dari Malaka dan kemudian merebut produksi dan perdagangan rempah oleh pemeluk Islam di berbagai pulau di Nusantara, Islam baik di masyarakat maupun di dalam Kesultanan sudah sangat established. Ketika Barat hendak merebut perkebunan dan monopoli produk perkebunan mereka mendapat perlawanan dari rakyat Islam dan para sultan. Mereka harus berhadapan atau kerjasama dengan para Sultan untuk bisa menguasainya.


> Kekuasaan dan Ke-Wali-an dalam Komunitas Islam Jawa

Penyebaran Islam yang cepat di Nusantara di samping karena perdagangan internasional yang besar dan luas serta ketersediaan komoditas favorit untuk perdagangan internasional seperti kamper, rempah dan emas juga karena peran besar dari para sufi (spiritualis) dan guru ngaji. Menurut Johns (1975) para sufi dan pengajar Islam memiliki peran yang besar dalam memperkenalkan Islam ke masyarakat Nusantara dan Asia Tenggara secara damai. Berlayar bersama para pedagang, para sufi baik dari China, India maupun Arab melakukan penetrasi ke dalam komunitas-komunitas pra Islam, yaitu Hindu, Budha dan kepercayaan lokal dengan cara halus dan bijaksana. Mereka berbaur dengan komunitas-komunitas tersebut mengikuti cara mereka beragama atau ibadah dan kemudian mengubahnya secara pelan bersamaan dengan itu juga mempertahankan metode dan cara beribadah mereka kemudian diubah substansinya menjadi berkonten Islam.

Wayang, dengan segala jenis menurut daerah tertentu memiliki khasnya sendiri, adalah tontonan seni pertunjukan tradisional Indonesia yang melibatkan berbagai unsur seni seperti seni peran, suara, musik, tutur, sastra, lukis, pahat, dan perlambang. Seni ini semula berasal dari India yang terkandung ajaran agama Hindu Budha namun kemudian diubah konten-nya menjadi sangat sufi dan islami oleh salah satu pemimpin spiritual yang di Indonesia disebut Walisongo (the nine spiritual guardians) yaitu Sunan Kalijaga. Wayang ini dengan modifikasi aslinya dari India kemudian diberi konten Islam dan sufistik (spiritual Islam) untuk menarik masyarakat yang ketika itu masih Hindu atau Budha. Titik temu hobi dan tradisi spiritual sufi Islam dan Hindu Budha serta kepercayaan lokal inilah, menurut Reid (2004) dan Johns (1975) yang mempercepat penyebaran Islam di Nusantara secara damai ketika itu.

Bentuk seni spiritual dan kombinasi dengan kemampuan berdagang para tokoh Islam ini serta konsep pluralitas dan toleransinya bahkan dalam hal praktik spiritual telah memantik ketertarikan para elit keraton dan elit masyarakat Hindu dan Budha untuk bergabung dengan tradisi dan budaya Islam. Di berbagai daerah dan pulau di Nusantara menampakkan fenomena bahwa setelah terbentuknya komunitas-komunitas Muslim yang plural dan toleran dalam berbagai bidang seperti seni, praktik spiritual dan tradisi lokal spiritual lainnya menyusul kemudian masuk islamnya para raja dan keluarga raja di berbagai pulau dan wilayah. Mereka bahkan menjadi murid para guru sufi atau jaringan tarekat. Proses yang terakhir ini tidak pelak mendorong terjadinya islamisasi makin masif.

Berbeda dengan teori Arab dan India tentang masuknya Islam ke Nusantara dan Jawa, kerajaan atau kesultanan Islam yang berdiri di Jawa menurut , Cheng (2020) dan Sen (2009) diinisasi oleh orang China, mulai dari Gresik (Sulistyanto, 2012) di Jawa Timur masih dalam bentuknya yang sederhana di akhir abad ke-14 kemudian berpindah ke Demak sebagai Kesultanan Demak (1478 M.) di Jawa Tengah. Kesultanan berikutnya menurut Cheng (2020) kemudian adalah Kesultanan Cirebon (14.30 M.), Kesultanan Banten (1526 M.) Kesultanan Pajang (1568 M.) raja-raja awal mereka adalah semua etnis China (Sulistyanto, 2012). Dan semua Kesultanan itu berada di pantai utara Jawa. Cirebon lebih dulu muncul meskipun kejayaannya baru di era Sultan Syarif Hidayatullah dengan rentang masa pemerintahannya yang cukup panjang (1479-1568 M.)

Baru kemudian berdirinya Kesultanan Mataram Islam (1586 M.) berlokasi menjorok ke tengah pulau Jawa didirikan oleh orang Jawa. Bisa dikatakan bahwa China memiliki peran penting bagi terbangunnya berbagai kesultanan Islam di Jawa. Di sini bisa disimpulkan bahwa jauh sebelum hadirnya Cheng Ho Islam sudah tersosialisasi secara cukup masif di Jawa. Zheng He atau Cheng Ho hadir di Jawa 1405, 1407-1409, dan 1409-1411 di era Kaisar Yongle di era Dinasti Ming dalam misi diplomasi dan perdagangan di era proses terbangun dan makin kuatnya Kesultanan Islam awal di Jawa dan Nusantara secara umum.

Jadi, terbentuknya kesultanan Islam di Jawa dimulai dari terbangunnya komunitas Islam dengan berbagai bentuk komunitas seperti pedagang, seni dan sebagainya yang juga dipimpin oleh para guru ngaji dan sufi atau Wali dengan berbagai keahlian. Dalam sejarah Islam berproses menjadi mayoritas di Jawa tersebut terbangun apa yang disebut Walisongo. Mereka lah pelaku islamisasi dengan intensif dengan metode yang damai. Songo artinya sembilan, suatu angka yang dianggap keramat bagi sebagian umat Islam hingga kini, sehingga walisongo adalah wali yang berjumlah sembilan. Mereka terdiri dari berbagai profesi seperti Sultan, guru spiritual, pedagang, diplomat, seniman, pertanian, budayawan dan kemampuan kekuatan mistik dan sebagainya. Mereka inilah yang menopang dan menjadi penjamin bagi berdirinya Kesultanan. Jadi kesultanan di Jawa berdiri dimulai dari terbangunnya komunitas yang kuat yang dipimpin oleh para wali. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar para wali dan para sultan awal di Jawa adalah beretnis China (Sen, 2009; Sulistyono, 2012; Cheng, 2020).

Walisongo terdiri dari (1) Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Tokoh yang dipercaya sebagai pelopor penyebaran Islam di Jawa, guru agama yang berwibawa dan terkenal dengan kesederhanaan dan kebijaksanaannya; (2) Sunan Ampel (Raden Rahmat). Putra Maulana Malik Ibrahim, ini dikenal dengan ajaran Islam yang moderat dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat; (3) Sunan Giri (Raden Paku). Pendiri kerajaan Giri Kedaton yang menjadi pusat penyebaran Islam dan pendidikan; (4) Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim). Dikenal karena kemampuannya dalam seni dan dakwah melalui media seni pertunjukan.

(5) Sunan Drajat (Raden Qosim). Dia fokus pada dakwah sosial, membantu kaum dhuafa, ekonomi termasuk pertanian dan mengembangkan potensi masyarakat; (6) Sunan Kalijaga (Raden Mas Said). Seorang tokoh yang sangat populer, dikenal dengan metode dakwah yang akomodatif terhadap budaya lokal serta pengubah kesenian Wayang dan seorang diplomat ulung; (7) Sunan Kudus (Ja'far Shadiq). Arsitek Masjid Menara Kudus dengan arsitektur yang unik, menggabungkan unsur Islam, China dan Hindu Jawa; (8) Sunan Muria (Raden Umar Said). Berdakwah di daerah pegunungan Muria, dekat dengan masyarakat kecil; (9) Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Mengembangkan Islam di wilayah Cirebon dan sekitarnya, serta mendirikan dan sebagai Sultan Kesultanan Cirebon.


> Cheng Ho dan Islamisasi di Jawa

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ketika Cheng Ho atau Zheng He hadir di Jawa dengan rombongan besar dan tidak sekali melainkan beberapa kali memberikan pengaruh terhadap proses islamisasi di Jawa (Al Qurtuby, 2012). Cheng Ho mampir ke beberapa kota di Jawa seperti Banten, Cirebon, Semarang, Tuban, Surabaya dan Gresik serta beberapa pelabuhan yang lain. Tujuan utama dari kehadiran Cheng Ho adalah melakukan diplomasi dan meyakinkan kepada para Sultan atau pemimpin masyarakat di wilayah yang dikunjungi seperti Asia Tenggara, Afrika, Arab atau Saudi Arabia dan juga ke Eropa untuk berhubungan diplomatik dan persahabatan dengan Kerajaan di Tiongkok yang ketika itu di bawah Kaisar Yongle. Misi utama dari Cheng Ho adalah membawa pesan tentang perubahan kebijakan Dinasti Ming di bawah Kaisar Yongle di Tiongkok. Menurut Sen (2019), setidaknya ada dua perubahan signifikan Dinasti Ming ketika itu. Pertama, kebijakan ekonomi. Jika Dinasti sebelumnya cenderung menerapkan ekonomi terbuka maka Dinasti Ming menetapkan kebijakan ekonomi tertutup.

Cheng Ho diberi tugas untuk memberikan penjelasan dan meyakinakn para sultan dan raja di wilayah-wilayah yang dia kunjungi sekaligus untuk membangun kerjasama. Sisi lain dari tugas itu adalah bahwa larangan untuk memberngun ekonomki di luar China. Semua pengusaha China harus berizin usaha atau izin usaha di China. Jika menentang maka akan disanksi. Salah satu pengusaha yang sekaligus bajak laut yang kuat dan terkenal di Palembang bernama Chen Zuyi, menolak kebijakan Dinasti Ming tersebut. Zuyi adalah bajak laut kelas kakap. Dia tidak mau membajak yang kecil-kecil melainkan hanya kapal besar di laut lepas yang dibajaknya. Dia juga terkenal murah hati, sering memberikan berbagai barang dan makanan kepada penduduk Palembang di daratan sehingga dia disayang oleh penduduk daratan tersebut.

Ketika Cheng Ho harus memberi sanksi dan menangkap Zuyi maka tidak mudah karena dilindungi oleh penduduk Palembang daratan. Namun kemudian Cheng Ho berhasil menangkap dia dan konon dalam keadaan terluka Zuyi diserahkan kepada Kaisar. Dakwah Islam sesungguhnya bukanlah tugas utama Cheng Ho dan rombongan namun karena di antara mereka beragama Islam maka di antara mereka menunaikan ibadah solat di darat dan mendakwahkan agama Islam. Bukan hanya di Jawa Cheng Ho juga mendakwahkan Islam di seluruh dunia yang dia kunjungi (Sien & Church, 2012). Bukan hanya Cheng Ho yang berdakwah melainkan juga anak buahnya. Beberapa anak buah Cheng Ho tidak bisa ikut kembali ke Tiongkok ketika Cheng Ho kembali sehingga di antara mereka sempat membangun tempat ibadah atau masjid di banyak pesisir seperti di Palembang, Cirebonan, Semarang, Surabaya dan sebagainya. Sebagian mereka juga menikahi wanita pesisir sehingga beranak pinak. Di berbagai wilayah juga terbangun desa atau kota China (China Town/China Village).

Semua bangunan masjid itu dibangun dengan perspektif asimilasi. Bangunan itu dengan arsitektur China sehingga mengesankan bahwa pembauran yang sangat kental dengan masyarakat setempat. Tidak ada cerita saling benci, kekerasan maupun perang antara penduduk lokal dengan para pendatang China. Ketegangan dan bahkan kekerasan terhadap etnis China terjadi pada era kolonial Belanda karena kolonial Belanda menerapkan kebijakan yang memisahkan antara penduduk asli dan penduduk Asia Timur seperti China dan Arab. Ketegangan dan kekerasan yang sering terjadi menimpa etnis China hingga sekarang merupakan efek dari kebijakan penjajah Belanda yang memisahkan dan mendiskriminasi antar mereka. Di hari-hari biasa mereka berbaur dan semakin kesini semakin baik tentang hubungan mereka.

Namun, celakanya ketika bangunan tempat ibadah yang sesungguhnya diperuntukkan Islam itu karena berarsitektur China maka dikira bangunan milik China dan karena itu dibiarkan teronggok ketika Cheng Ho tidak lagi melakukan pelayaran kembali di Asia Tenggara. Orang lokal tidak berani mengambil dan merawatnya sehingga tempat-tempat itu kemudian dirawat oleh China yang datang belakangan yang kebetulan tidak beragama Islam. Diduga berbagai Klenteng tempat ibadah agama Budha di berapa daerah bekas bangunan yang dibangun oleh Cheng Ho dan para pengikutnya dulunya adalah tempat ibadah Islam (Sen, 2019). Namun sejauh ini kelenteng-kelenteng yang dulunya bangunan tempat ibadah Islam itu sangat aman, tidak pernah ada kecurigaan maupun aksi perebutan di antara orang Islam dan Budha. Bahkan dalam tradisi Islam di Nusantara dan Jawa khususnya kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sangat melindungi minoritas.

Minoritas yang terancam oleh agama lain atau preman termasuk kalangan Islam maka akan dijaga dan dilindungi oleh pengikut Nahdlatul Ulama, organisasi sufi Islam tersebar di Indonesia. Nahdlatul Ulama kini memiliki anggota 57,6 persen dari penduduk Muslim Indonesia yang berarti sekitar 140 juta jiwa. NU berkembang melalui pendidikan model pesantren (boarding school) yuang sangat populer di pedesaan terutama di Jawa yang memasukkan pandangan dan cara hidup sufi, sederhana, mendalam, patuh kepada guru, percaya pada barokah dan terbuka serta bergaul dengan siapa saja tidak eksklusif Islam atau pengikut NU. Kini NU mengelola sekitar 26 ribu pesantren di seluruh Indonesia dan akhir-alhir ini juga berkembang di perkotaan.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, salah seorang pemimpin Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan pernah menjadi presiden pada 2000-2001, adalah yang memerintahkan para volunteer anak muda NU untuk melindungi tempat ibadah agama lain jika mereka terancam oleh siapapun. Kebijakan itu dikeluarkan ketika Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU pada 1998 dan hingga sekarang masih dilakukan oleh para volunteer muda NU tersebut. Gus Dur sendiri mengklaim sebagai keturuan China dan pernah meminta kepada seorang sejarawan China untuk menelusurinya dan hasilnya ada dua silsiah ke atas di China dan di Nusantara bagian dari silsilah Walisongo.

Sebagai presiden Gus Dur mengeluatkan keijakan pada tahu 2000an untuk menghapus seluruh aturan yang membuat sulit dan diskriminatif terhadap minoritas termasuk China. Kini kalangan China bebas untuk berekspresi dengan berbagai saluran termasuk pagelaran seni seperti barongsai.


Kesimpulan

Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara khususnya di Jawa sangat damai dan aman. Cara-cara penetrasi kultural oleh para pedagang dan sufi memberikan metode komunikasi dan pergaulan yang sangat toleran dan saling menghormati. Etnis China memiliki peran penting dalam islamisasi yang bersifat masif di abad ke-14 - ke-16. Bahkan sultan-sultan Islam pertama di Jawa terdiri dari etnis China seperti Sultan Giri, Sultan Demak, Sultan Cirebon dan Sultan Pajang. Pembauran antar penduduk asli dan pendatang China terjadi secara alamiah sebelum datangnya penjajah Belanda yang menerapkan strategi memecah belah dan diskriminatif baik terhadap penduduk asli maupun pendatang. Namun dalam waktu yang sama di antara mereka juga diadu domba oleh kolonial.

Adalah peran Gus Dur hubungan antara China dan penduduk asli Jawa cenderung dinamis, respect dan aman. Hubungan yang sama terjadi kepada pemerintah. Adalah pula pula Gus Dur yang membuka jalan bagi China untuk bisa berkiprah di ranah publik dan juga menjadi aparat negara dan militer serta Polisi Militer serta Polisi pasca runtuhnya Orde Baru.

References:

Al Qurtuby, Sumanto. (2012). “The Imprint of Zheng He and Chinese Muslim in Indonesia's Past.” dalam Sien, Chia Lin & Church, Sally K. (Eds.). (2012). Zheng He and the Afro-Asian World. Melaka: Melaka Museum Cooperation.

Aly, Sarah. (2013) “Chinese Muslims, or Muslims in China? The gradual assimilation of the Hui from the Tang-Ming dynasties” Medieval Indian Ocean World. Professor Tamer el-Leithy, 17 May.
Broomhall, Marshall. (2010). Islam in China, A Neglected Problem. Publisher Morgan & Scott, Limited.
Cheng, Wing-Sheung. (2020). “The Rise and Decline of Chinese Sultanates in Java.” Nusantara: An International Journal of Humanities and Social Sciences. Vol. 2, No. 2 (2020) pp. 147–168.
Herlijanto, Johans (2012). “Cultivating Past, Imagining the Future: Enthusiasm for Zheng He in Contemporary Indonesia” dalam Sien, Chia Lin & Church, Sally K. (Eds.). (2012). Zheng He and the Afro-Asian World. Melaka: Melaka Museum Cooperation.
Joshns, Anthony H. (1975). “Sufism in Southeast Asia: Reflections and Reconsiderations.” Indonesia 19, pp. 33-55.
Lombard, Denys. (2005). Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta: Gramedia.
Ricklefs, Merle Calvin. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta, Serambi.
Sen, Tan Ta. (2019). Cheng Ho and Islam in Southeast Asia. Singapore: ISEAS.
Sien, Chia Lin & Church, Sally K. (Eds.). (2012). Zheng He and Afro-Asian World. Melaka: Melaka Museum Cooperation.

Sulystiyono, Singgih Tri (2012). “Contesting the Symbols: Zheng He, Sam Po Kong Temple and The Evolution of Chinese Identity in Semarang.” dalam Sien, Chia Lin & Church, Sally K. (Eds.). (2012). Zheng He and the Afro-Asian World. Melaka: Melaka Museum Cooperation.

Berita Terkait